Logo Interpretasi SemestaLogo Interpretasi Semestacropped-Logo-Interpretasi-Semesta.pngcropped-Logo-Interpretasi-Semesta.png
  • Halaman Depan
  • Buku & Catatan
  • Perjalanan
  • Instagram
  • Unduhan
  • Kontak
  • Halaman Depan
  • Buku & Catatan
  • Perjalanan
  • Instagram
  • Unduhan
  • Kontak
Islam adalah Penjagaan Lisan
March 18, 2022
Tiga Hikayat (untuk) Penanggulangan Pandemi
March 18, 2022

Di Bawah Naungan Bhumi Amerta

Published by Ahmad Wardhana at March 18, 2022

Surat yang dibacakan kepada peserta Persiapan Keberangkatan Beasiswa LPDP RI Angkatan ke-181, pada hari Selasa, 15 Maret 2022.

***

Teruntuk: Sahabat PK 181 Bhumi Amerta. Assalamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakatuh.

Masih segar ingatan saya pada tanggal 6 Desember 2021. Saat itu saya sedang berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hari itu agenda saya adalah melakukan perjalanan ke Desa Ofu, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang jaraknya empat jam perjalanan darat.

Sepanjang perjalanan, dengan dinamika sinyal internet yang hilang dan timbul, saya berulang kali merefresh email dan laman LPDP. Begitu tiba di Desa Ofu, saya tidak bisa langsung tidur karena hati masih gelisah menanti pengumuman. Hingga akhirnya, hampir bersamaan dengan pergantian hari di waktu Indonesia bagian tengah, kabar itu hadir: alhamdulillaah saya diterima LPDP. Karena rasa lelah, tak ada euforia sama sekali. Saya mengucap syukur, memejamkan mata sejenak, kemudian merasa lega. Justru Ibu saya di Jogja, yang saya telepon beberapa menit kemudian, terdengar menangis.

Sahabat 181 sekalian, kisah tadi hanyalah sebuah puncak gunung es yang sangat kecil, simbol perjuangan kita semua. Di bawah puncak tersebut, terdapat sesuatu yang lebih besar dan agung, yakni ridla dan air mata orang tua kita; kesedihan sekaligus munajat pasangan dan anak yang sejenak kita tinggalkan di saat proses mengharu-biru menuju LPDP; doa para guru, sahabat, dan kolega; serta tentu saja akumulasi perjuangan kita, jerih payah kita, jatuh-bangun kita, serta kesabaran kita menulikan telinga atas celaan dan hinaan; demi menempuh perjalanan berliku mencapai puncak gunung es yang kecil itu.

Rangkaian perjalanan kita kemudian berlanjut pada proses PK, Persiapan Keberangkatan. Fase ini adalah fase transisi yang tidak mudah. Nyaris semua dari kita tersandung-sandung karena harus melakukan multi-tasking: antara pekerjaan yang belum bisa ditinggal yang bersamaan dengan kegiatan PK. Beruntung bagi kita, para senior Panitia PK LPDP menyadari beratnya masa transisi ini, sehingga memberi banyak kelonggaran. Saya kira kita perlu mengapresiasi berbagai fleksibilitas ini dengan mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada mereka. Semoga Allaah Ta’aala memberikan rahmat dan keberkahan kepada Panitia PK LPDP, sehingga dimudahkan pula berbagai urusan mereka semua. Aamiin, allaahumma aamiin.

Meskipun demikian, kita tahu persis bahwa perjuangan selalu identik dengan hadirnya ujian. Fleksibilitas tersebut bukanlah halangan bagi Allaah Ta’aala untuk menguji kita. Ada di antara kita yang diuji dengan sakit pada dirinya sendiri atau keluarga. Ada di antara kita yang diuji dengan kecelakaan. Bahkan, ada di antara kita yang diuji dengan kehilangan sosok Ibu menjelang PK.

Sebagian dari kita pasti ada yang masih memiliki Ibu dan sebagian yang lain boleh jadi telah kehilangan Ibu. Tetapi keduanya, kita semuanya mengerti benar, betapa merananya seorang anak yang ditinggalkan Ibunya. Mari sejenak membacakan Surat al-Faatihah kepada Ibu dan Bapak kita semua: yang masih hidup, semoga Allaah karuniakan kesehatan yang paripurna; yang sedang sakit, semoga Allaah karuniakan lepas semua penyakitnya; dan yang telah meninggal, semoga Allaah karuniakan ampunan atas dosa dan penerimaan segenap amal kebajikannya, al-Faatihah…

Sahabat 181 yang dicintai Allaah SWT, beruntungnya kita adalah bahwa 181 sangat berbeda dengan 180 angkatan sebelumnya. Saya pribadi sebenarnya sudah biasa kerja 24/7, karena beberapa proposal atau laporan project sering menuntut proses yang cepat. Namun 181 ritmenya berbeda. Bukan sekadar cepat, tapi cepat pakai banget, yang begitu cepatnya ritme kerja di 181, terminologi cepat seolah sirna, tergantikan dengan jargon “SAT SET SAT SET”, yang mewakili istilah “kecepatan yang na’udzubillaah”.

Walhasil, saya dan tentu saja kita semua, mau tak mau harus terbawa arus, terseok-seok berlari mengikuti ritme kerja para penggerak 181. Dan akibatnya luar biasa. Pada akhirnya kita semua menjadi satu kesatuan yang dapat bergerak cepat bersama menuju satu orientasi akhir jangka pendek: terselesaikannya PK LPDP, di sebuah titik di mana sekarang kita berada, dengan hasil yang sangat memuaskan, karena semua tentang kita: dari kita, untuk kita, dan oleh kita sendiri.

Sahabat 181, setelah PK usai, ada harapan besar, persaudaraan di 181 dapat terus berlanjut. Jika kampus tujuan kita adalah lokasi proses perakitan kendaraan kita menuju asa, harapan, dan cita-cita, sementara Beasiswa LPDP RI adalah sumber energi bagi proses perakitan tersebut; maka PK 181 adalah ruang bagi benak dan hati kita untuk memupuk harapan agar tetap terus tumbuh. PK 181 merupakan naungan hati dari hujan badai cobaan selama masa perakitan. PK 181 adalah tempat bagi benak untuk rehat sejenak di tengah padatnya lalu lintas pada masa pengujian kendaraan kita. PK 181 adalah tempat bersama bagi kita semua untuk berbagi harapan dan optimisme, sehingga keduanya semakin menguat, sekaligus untuk mencurahkan kesedihan dan kepiluan, sehingga keduanya dapat menipis seiring dengan berjalannya waktu. Saya meyakini, PK 181 adalah sebuah hamparan bagi kita semua untuk memaknai hidup, karena sebagaimana Viktor E. Frankl katakan dalam bukunya Man’s Search for Meaning,

Makna hidup berbeda untuk setiap manusia. Dan berbeda pula dari waktu ke waktu.

Viktor E. Frankl dalam Man’s Search for Meaning


Sahabat 181 sekalian, proses Pra-PK dan PK LPDP sesungguhnya merupakan gambaran masa depan kita, saat menjalani pendidikan: penuh perjuangan. Ada yang harus mencari sinyal ponsel, harus keluar dari rumah. Ada yang sembari mengikuti kuliah atau presentasi atau mengajar atau mengerjakan tugas atau bereksperimen di laboratorium; ada para Perwakilan Angkatan (Mas Dekur, Mas GSP, Mas Manap, Mbak Uthe, dan Mbak Zahrad) serta Ketua Kelompok yang memimpin dengan sepenuh hati di samping harus menyelesaikan tugas-tugas individunya; ada rapat-rapat yang diwarnai dilema karena profesinya sebagai dokter mewajibkan dirinya untuk memprioritaskan pasiennya; ada Divisi Event dan Acara, Mas Abha dkk, dengan kreativitisnya yang gila-gilaan; ada Divisi Content Creator, Mbak Angel dkk, yang kualitas produknya melebihi kualitas produk berbiaya mahal; ada Divisi Proyek Sosial serta Divisi Pemasaran dan Rencana Bisnis, Mas Royhan, yang berjibaku dengan perencanaan, waktu, dan anggaran serta bagaimana kemudian memperoleh pendanaannya; ada Divisi Buku Angkatan, Mas Qudwatie dkk, yang menjadi petugas statistik dadakan; ada Divisi Administrasi, Mbak Almi dkk, yang sukses menghilangkan noise dan data outlier dalam setiap rapat dan pertemuan, sehingga notulensi yang dihasilkan selalu tetap fokus; serta seluruh anggota PK-181 yang telah berkontribusi tanpa kecuali; kesemuanya, adalah gambaran perjuangan, kerja bareng dan kerja sama, kolaborasi, simpati sekaligus empati, saling dukung satu sama lain, membentuk 181 yang apik, epik, dan heroik.

Akhir dari PK LPDP Angkatan 181 bukanlah akhir dari kebersamaan dan persaudaraan kita, tetapi sebaliknya, awal dari lahirnya sebuah kebersamaan dan persaudaraan kita untuk bersama-sama berperan dalam mengantarkan Indonesia menuju kemakmurannya. Ingatlah pesan Bung Karno di dalam pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945,
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata, “Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya”. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.

Soekarno pada Pidato 1 Juni 1945

Semoga Allaah Ta’aala meridlai segenap niat baik dan perjuangan kita, dengan melimpahkan rahmat dan keberkahan pada diri kita masing-masing bersama keluarga yang sedang menempuh jihad keilmuan, maupun kepada keluarga yang setia menanti kepulangan kita tanah air tercinta. Allaahumma yassir umuranaa, wa hash-shil-maqashidanaa, wa balighnaa ilaika, Ya Allaah, Ya Rahmaan Ya Rahiim, bi sirril-Faatihah…

Wallaahul muwafiq ilaa aqwamith-thoriq.

Wassalamu’alaykum warahmatullaahi wabarakatuh.

Share
0
Ahmad Wardhana
Ahmad Wardhana

Related posts

September 24, 2025

Maulid Nabi & Amanat Bangsa: Kesederhanaan sebagai Jalan Kepemimpinan


Read more
September 3, 2025

80 Tahun Indonesia Merdeka: Menghidupkan Musyawarah, Mendengar yang Tersisih


Read more
July 27, 2025

Hijrah Ekologis: Tahun Baru Islam dalam Perspektif Krisis Iklim


Read more

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *