Disampaikan pertama kalinya di Masjid al-Ikhsan, Fakultas Kehutanan UGM, pada Jumat, 3 Januari 2025
Hadirin yang dirahmati Allaah SWT, akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh pernyataan pemimpin kita, terutama tentang program-program ambisius yang tampak indah, nasionalis, menggambarkan kemandirian negeri tercinta, dan menumbuhkan berbagai aspek kehidupan bangsa, namun juga sekaligus menyembunyikan banyak pekerjaan rumah sebelum semua maksud baik tersebut malah menjadi bencana ekologis terbesar dalam sejarah peradaban manusia.
Program bioenergi, yakni mengganti bahan bakar diesel dan gasolin atau bensin dengan minyak berbasis sawit dan etanol berbasis tanaman, dapat dipahami rasionalitasnya: yakni kita telah menjadi negara net oil importer, karena produk minyak bumi kita yang tak lagi mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akibat dari impor ini, di antaranya adalah harga minyak bumi yang sangat fluktuatif dan nilai subsidinya yang turut terdampak.
Tahun 2021, Indonesia mengimpor sekitar 26 juta ton BBM dengan nilai 15,4 miliar USD; naik menjadi sekitar 30 juta ton (atau naik 4 juta ton) senilai 25,9 miliar USD (naik 10,5 miliar USD). Subsidi yang dibayarkan negara agar BBM dan LPG dapat diakses oleh seluruh masyarakat turut naik, yakni dari Rp83,8 triliun pada 2021, menjadi Rp115,6 triliun pada 2022, atau naik Rp31,8 triliun. Dua alasan tersebut, yakni harga minyak yang cenderung naik dan subsidi yang turut naik, merupakan argumentasi yang cukup kuat untuk mendengungkan isu kemandirian energi nasional.
Tetapi apakah solusinya kemudian hanya tunggal, yakni dengan melakukan alih fungsi lahan hingga 20 juta hektar, atas nama kemandirian pangan dan energi?
Apakah memang demikian cara memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia yang 56 persennya tinggal di Jawa, dengan mengalihkan fungsi lahan yang setara dengan 1,5 luas pulau Jawa, di selain pulau Jawa?
Dan apakah solusi tunggal tersebut akan dimaknai dengan mengubah hutan dengan tanaman polikultur anugerah Allaah SWT menjadi perkebunan monokultur atas nama kebutuhan manusia?
Hadirin yang dirahmati Allaah SWT, pada dasarnya kita tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi, termasuk menebang pohon, kecuali untuk alasan tertentu. Saat menafsirkan al-Qur`an surat al-A’raf ayat 56,